Pages

Tuesday, June 14, 2011

Pematang Siantar: Kota Kuliner Part #1


Setelah keputusan bulat kami untuk berwisata kuliner di Pematang Siantar, akhirnya di antara jadwal acara pernikahan anaknya Atuk, aku dan Mr. A berkeliling kota. Pak Tobing yang lahir dan besar di kota Pematang Siantar tentu saja mengenal kota ini seperti telapak tangannya sendiri.

Kota Pematang Siantar merupakan kota kecil di antara Medan dan Parapat. Sering kali menjadi persinggahan mereka yang akan mengunjungi Danau Toba dari Medan. Kota ini sendiri, kalau dibandingkan dengan kota-kota lain yang aku kenal, mungkin besarnya hanya seperti kota Magelang. Kotanya loh, bukan kabupatennya.

Dengan dua ruas jalan utama, Jl. Merdeka dan Jl. Sutomo, Pematang Siantar menjadi kota yang dapat dihapal dalam setengah hari. Rutenya mudah dan tidak menyesatkan meski banyak jalan-jalan kecil.

Dalam satu hari, Mr. A sudah (sok) hapal jalanan. Dan kami pun sudah mencicipi sebagian besar kuliner kota Pematang Siantar.

Seperti yang sudah aku tulis sebelumnya, Pematan Siantar ini unik karena untuk kota seukurannya, Pematang Siantar memiliki banyak sekali tujuan kuliner. Warung-warung makan bertebaran dengan berbagai menunya, baik lokal, standar, maupun yang internasional.

Kami sampai bertanya-tanya, siapa sajakah pengunjung mereka?

Selain warung-warung, rupanya Pematang Siantar juga memiliki beberapa pusat kuliner. Semacam pujasera a la kumpulan gerobak-gerobak. Beberapa di antaranya adalah Siantar Square (yang baru berdiri satu tahun), Lapangan Adam Malik (yang menyerupai alun-alun), dan Parluasan (yang belum sempat aku kunjungi).

Salah satu makanan yang sangat berkesan adalah Mie Melayu. Menurut Pak Tobing ini mie rebus khas Pematang Siantar. Mendengar kata khas, aku langsung tertarik. Pak Tobing pun mengajak ke sebuah warung di Siantar Square bernama Orayono yang baru mulai buka pukul 5.30 sore dan tutup pada pukul 1.30 pagi.

Setelah memesan dan menunggu sebentar, mie melayu seharga Rp 9.000,- pun keluar. 

"Mie rebus," ujar Pak Miswanto, pemilik warung tersebut.


Mie melayu ini berkuah kental dan memiliki rasa yang, um... membangkitkan kenangan. Isinya sederhana, hanya tahu, taoge, mie, kentang, dan kerupuk. Di atasnya diberi sambal kacang.

Tapi, apa yang membuatnya terasa familiar ya?

"Ini dari resep mie ongklok, Mbak," ujar Pak Miswanto yang rupanya dulunya berasal dari Jawa Tengah dan merantau ke Pematang Siantar sejak tahun 1970.

Oalah. Pantas saja...

Apabila ingin rasa yang lebih 'khas', Pak Miswanto menawarkan pilihan irisan jeruk nipis sebagai pengganti sambal kacangnya. Dan untuk pelengkap, seperti di Mie Ongklok Wonosobo, beliau juga menyediakan sate sapi.

Tapi, dibandingkan dengan yang asli, Mie Melayu lebih 'menyisakan rasa' dibandingkan dengan Mie Ongklok yang dulu aku makan di Wonosobo. Entah kenapa.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...