Sejak awal, Tuk-tuk mengingatkanku pada Gili Trawangan, salah satu pulau dari Gili-Gili di Lombok. Jalanannya kecil dan tidak padat kendaraan, hotel-motel murah meriah tersebar di pinggiran daratan yang berbatasan dengan air, keterpencilannya dari kota, 'pantai'-nya, serta kehidupannya yang penuh dengan bule.
Tentu saja, sebagai pelengkapnya, berbagai bar dan pub buka di malam hari.
Kebanyakan dari turis asing yang berada di Tuk-tuk memang bisa dipastikan backpacker. Judging by it's cover sih...
Untuk turis lokal, mungkin kebanyakan lebih memilih tinggal di Parapat. Berkat banyaknya jam operasional kapal penyeberangan, pengunjung lebih bebas datang dan pergi sesuai kebutuhannya.
Ketika kami berlabuh di Tuk-tuk, kami telah memiliki agenda utama kami sendiri. Kami harus ke Makam Raja Sidabutar, Batu Kursi, Rumah Tradisional Siallagan di Ambarita, bersantai di pinggir danau, dan berkeliling kota Tuk-tuk.
Untungnya, Tabo Cottages menyediakan peta gratis dan Bang Reynold yang berasal dari Nias sangat berbaik hati untuk memberi arahan jelas menuju ke kedua tempat wisata tersebut. Berbekal peta dan ancer-ancer dari Bang Reynold, kami pun berkeliling menggunakan motor sewaan.
Tanpa helm, tanpa spion. Kebanyakan motor di Tuk-tuk memang tidak memiliki spion.
Pusat Tuk-tuk
Perjalanan ke Ambarita membuatku sadar bahwa lokasi Tabo Cottages berada sedikit agak jauh dari pusat keramaian Tuk-tuk. Menuju Ambarita memang harus melewati pusat Tuk-tuk yang kembali mengingatkanku pada suasana Gili Trawangan.
Jalanan yang sepi kendaraan bermotor, suasana yang tenang dan santai, cuaca yang cerah ceria, dan penginapan di sepanjang pinggir jalan.
Menurut keterangan di internet, kamar-kamar di penginapan itu disewakan dengan harga yang sangat terjangkau. Bahkan beberapa termasuk murah. Mereka juga memiliki resto-resto yang mungil dan khas daerah wisata bule backpacker.
Selain resto, beberapa dari mereka menawarkan hiburan alternatif pelengkap kunjungan: persewaan buku, pub, hingga 'bioskop-mini'.
Aku sebenarnya tertarik untuk mencoba satu per satu, tapi berdasarkan pengalaman mencicipi makanan di dua tempat, aku memiliki kesimpulan bahwa kuliner bukanlah sesuatu yang telah diolah dengan baik di sini. Ya dari jenis, ya dari rasa, ya dari harga.
Rata-rata resto menyuguhkan menu bule: pasta, pizza, hingga berbagai salad dan pastry yang menurutku rasanya biasa saja. Harganya juga agak membuat bingung. Perbedaan harga pancake tanpa eskrim dan dengan eskrim mencapai Rp 10.000,- sendiri. Padahal hanya satu scoop dan rasanya biasa.
Hebatnya lagi, makanan khas di daerah ini sendiri sama sekali tidak terdengar.
Meski begitu, aku dan Mr. A memutuskan untuk kembali ke daerah ini pada malam hari ketika yang perlu kami lakukan hanya tinggal bersantai.
Kursi Batu dan Rumah Tradisional Siallagan di Ambarita
Perjalanan ke Ambarita luar biasa. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi terasa lama. Mungkin karena sepi. Dari Toba Cottages, kami melewati pusat kota Tuk-tuk dan perbukitan dengan pemandangan yang luar biasa.
Satu hal yang membuatku menyesal adalah kenyataan bahwa aku tidak membawa celana pendek! :(
Setelah perjalanan yang sedikit menyesatkan, kami akhirnya sampai di Huta Siallagan, Ambarita. Di sana kami menyewa guide untuk menceritakan situs-situs yang ada.
Lingkungan Huta Siallagan ini dipagari oleh tembok batu setinggi hampir 2 meter dengan satu pintu masuk dan satu pintu keluar. Menurut guide kami, dulunya perkampungan di sana memang terbagi berdasar marga. Pagar tinggi dibuat mengelilingi satu 'kampung' untuk menghindari serangan dari kampung lain.
Rumah-rumah tradisional berderetan dan masih dipergunakan. Ulos-ulos tergantung di dalam salah satu rumah itu. Seperti kain tradisional lainnya, setiap ulos dengan motifnya memiliki arti dan kegunaan yang berbeda.
Selain rumah, yang paling terkenal dari kawasan wisata ini adalah lingkaran kursi batu di bawah rindangnya pohon ara yang berumur lebih dari 100 tahun. Sebelum masuknya agama Kristen ke Pulau Samosir, raja Siallagan dan seluruh pengikutnya masih melakukan kanibalisme. Yang dimakan bukan sembarang orang, tapi kebanyakan adalah musuhnya.
Nah, lingkaran kursi batu ini merupakan tempat di mana mereka mengadili musuh dan penjahat, sebelum membawanya ke area eksekusi. Di area itu, musuh yang sudah diputuskan hukuman mati akan dibaringkan terlebih dahulu di batu lebar untuk dihilangkan kekebalannya dengan cara disayat-sayat, lalu baru dibawa ke batu untuk memancung kepalanya.
Setelah itu, kalau musuh itu benar-benar membuat Raja marah, maka mayatnya akan dipotong-potong dan dimasak bersama daging hewan. Lalu kemudian disuguhkan dan dimakan oleh seluruh warga kampung dalam sebuah pesta.
Aku bergidik ngeri.
Selesai aksi pertunjukan guide rombongan Jepang untuk menggambarkan hukuman bagi para musuh, kami beranjak keluar dari kampung itu, melalui satu-satunya pintu keluar yang ada. Masalahnya, pintu keluar itu sekarang dilanjutkan dengan semacam lorong yang memperjualbelikan segala macam souvenir, termasuk tanggalan khas mereka.
Suasananya mirip seperti di Candi Borobudur.
Makam Raja Sidabutar dan Sigale-Gale
Terletak berlawanan arah dari Ambarita, kami berkelana ke arah pelabuhan Tomok untuk mengunjungi Makan Raja Sidabutar. Kalau ke Ambarita kami disuguhi pemandangan Danau Toba dari atas, sepanjang jalan ke Tomok kami disuguhi beberapa padang rumput lengkap dengan kerbaunya. Hening.
Menyenangkan.
Nah sampai di Tomok, suasananya berubah. Pelabuhan besar mengangkut bis-bis dan mobil-mobil dan beraneka turis yang memenuhi area wisata. Deretan kios menjual souvenir dipenuhi turis.
Padahal itu adalah salah satu jalan masuk ke Makam Raja Sidabutar.
Aku dan Mr. A pun memarkir motor di sembarang pinggir jalan dan masuk. Jalannya berliku hingga menuju sebuah tempat terbuka di mana ada lingkaran patung kecil-kecil dan sebuah makam besar.
Makam Sidabutar dan patung-patung kecilnya sempat terasa begitu mistis. Apalagi setelah aku tahu bahwa patung-patung yang berbentuk bola merupakan perlambang dari musuh yang telah dipenggal. Lalu satu rombongan anak SMP yang penuh energi masuk ke lokasi dan mulai memanjat-manjat patung.
Di tempat ini seorang guide menceritakan tentang kisah Raja Sidabutar.
Tapi karena dialeknya berbeda dan pembahasannya terlalu panjang, aku jadi bosan sendiri. Kami pun memutuskan keluar, tapi aku sedikit memaksa Mr. A untuk mampir melihat Sigale-Gale terlebih dahulu.
Sigale-Gale ini merupakan sebuah boneka kayu berbentuk manusia setinggi satu meter. Dia diberi pakaian adat Batak dan bisa bergerak mengiringi musik. Gerakannya dibantu oleh benang-benang. Namun, legendanya, Sigale-Gale ini dulunya digerakkan menggunakan kekuatan pikiran.
Sigale-Gale sendiri sebenarnya banyak terdapat di daerah Pulau Samosir. Boneka ini merupakan perwujudan seorang anak, dibuat oleh keluarga untuk mengenang anaknya yang meninggal atau hilang. Dulu, katanya, Sigale-gale bisa digerakkan menggunakan kekuatan pikiran.
Gaib.
-o0o-
Kami pulang dari Tomok dengan sedikit kelelahan. Setelah menghabiskan satu gelas kopi, kami pulang ke Tabo Cottages untuk menikmati danau.
Danau Toba dikelilingi oleh berbagai penginapan. Penginapan-penginapan itu bahkan bisa dibilang berbatasan langsung dengan danau. Mereka 'memiliki' akses utama ke danau.
Positifnya, mereka merawat dan bisa menawarkan Danau Toba sebagai kolam renang terluas yang mungkin dimiliki sebuah hotel. Negatifnya, ini membuat danau itu terkapling-kapling dan tidak bisa diakses jika tidak menginap di salah satu penginapannya.
Melihat airnya yang tenang dan jernih (karena terawat), aku menyesal sekali tidak membawa baju renang ataupun celana pendek! Meski begitu, aku tetap bisa menikmati Danau Toba. Suasananya yang tenang dan sunyi, membuatku betah dan tenteram.
Ketika malam tiba, hujan deras turun. Sangat deras hingga listrik di seluruh Tuk-tuk mati. Generator yang dimiliki hotel hanya cukup untuk menyalakan listrik di resto. Semua tamu pun akhirnya berkumpul di resto yang terang.
Aku dan Mr. A membatalkan rencana kami berkeliling Tuk-tuk menikmati berbagai pub yang ada. Kami harus puas dengan minuman hangat jeruk nipis-jahe-madu, minuman anti-flu a la Tabo Cottage.
"Di Pulau Samosir memang kalau hujan deras, listrik sering dipadamkan," ujar Pak Tobing ketika bertemu keesokan harinya.
No comments:
Post a Comment