Pages

Thursday, January 17, 2008

Lawatan ke Dinas Kesehatan


"Nggak bisa, Mbak. Hari ini kebetulan nggak ada yang urus."

Lha... kemana perginya semua orang? Jam baru menunjukkan pukul 11 siang dan ruangan-ruangan kantor itu sudah tampak kosong.

-o0o-

Dari beberapa hari yang lalu, aku sibuk menemani Ibu mengurus surat bebas biaya untuk operasi Trimah. Setelah membawa segala kelengkapan surat keterangan tidak mampu, pagi itu kami ditolak oleh RS dr. Sardjito dengan alasan belum ada surat keterangan dari Kabupaten Magelang. Duh!

Dan pagi itu, kami pun bergegas berangkat dari Jogja menuju Magelang. Mencari surat dari Kabupaten. Kantor Kabupaten, kan?

Eh, ternyata bukan. Gedung Kabupaten memang besar, mewah, dan tampak profesional. Sayang pegawainya tetap saja stereotype manusia-manusia berseragam. Setelah diputar-putar hingga ke Bina Marga dan segalanya, kami baru diberitahu bahwa bila ingin mengurus surat tersebut, harus ke Dinas Kesehatan. Yang letaknya sekitar tujuh kilometer dari Kantor Kabupaten.

Huh! Kenapa tidak bilang dari awal...?

Kantor Dinas Kesehatan tidak semegah Kantor Kabupaten. Gedungnya sederhana. Tampak kusam dan tua, dengan halaman tanah berpasir yang tidak terawat.

Pernah melihat gedung-gedung pemerintahan atau sekolah di desa? Yah, kira-kira seperti itulah bentuknya.

Jam masih menunjukkan pukul 11 kurang. Tapi Dinas Kesehatan sudah tampak kosong. Lengang. Hanya tampak beberapa gelintir manusia berseragam yang siap pergi, entah ke mana.

Aku yang malas turun, meminta Bapaknya Trimah untuk turun dan mengurus surat. Hanya tinggal menunjukkan semua surat yang dia bawa, sambil menjelaskan bahwa dia butuh surat yang sama dari Kabupaten. Bedanya, yang ini dari Dinas Kesehatan.

Tak lama Bapaknya Trimah menghilang dari pandangan, dan tiba-tiba tampak ia sudah berjalan cepat, kembali ke arah mobil.

"Mbak, nggak bisa hari ini," ucapnya pelan. Pasrah.

Tapi kenapa tidak bisa?

"Nggak ada petugas yang urus," jawabnya.

Lho... kok aneh?

Aku pun turun dan mengajak Bapaknya Trimah kembali menemui orang yang bilang kalau hari ini tidak bisa mengurus surat yang kami butuhkan. Aku penasaran, ada apa hingga petugas pengurus surat itu tidak ada. Padahal jam makan siang pun belum tiba.

Sesuai petunjuk Bapaknya Trimah, kami pun masuk ke sebuah ruangan di pojokan. Terdapat banyak meja, beberapa lemari, dan empat petugas yang sibuk ber-haha-hihi di ruangan itu.

Dan mereka segera terdiam saat melihat kami masuk. Tentu saja.

Aku pun segera menuju ke salah satu meja dan menjelaskan maksud kedatangan kami pada Bapak Berseragam #1 yang menatapku dengan pandangan bosan. Kujelaskan semuanya dengan jelas.

"Sama bapak yang itu saja, Mbak." Bapak Berseragam #1 melempar tugas pada rekannya yang lebih muda, yang duduk tak jauh darinya.

Okay. Mungkin Bapak Berseragam #1 malas meladeni kami. Mungkin dia sedang nggak mood. Aku pun ke meja Bapak Berseragam #2 dan kembali menjelaskan semuanya. (Padahal aku yakin, dia pasti mendengar penjelasanku sebelumnya.)

"Hm... tapi kita nggak bisa ngurus seperti ini lagi, Mbak," ucap Bapak Berseragam #2.

Kenapa?

"Ya emang sudah lama nggak ngurus seperti ini," tambahnya tanpa menjawab pertanyaanku.

Tapi kami disuruh oleh Kantor Kabupaten untuk mengurus kemari. Ke Dinas Kesehatan.

Bapak Berseragam #2 melemparkan pandangan ke mana-mana.

Baiklah. Lalu kami harus mengurus ke mana? Aku mulai kesal dengan gaya mereka hari itu.

"Di ruang sebelah," jawabnya. "Kami kan bagian TU."

Oh Tuhan...! Jadi kantor yang dimaksud cuma bersebelahan dan mereka menggunakannya untuk mempersulit hidupku hari itu.

"Tapi di sebelah lagi kosong. Nggak ada orang," ucap Ibu Berseragam yang tiba-tiba ikut nimbrung.

Kenapa tidak ada orang?

"Lagi pada tilik yang pulang haji," jawabnya.

Huff...! Segenting itukah tilik teman yang pulang haji? Aku merasa kata-kataku mulai terbata-bata. Aku kesal dan tak habis pikir dengan sistem birokrasi ini.

Lalu, kami harus bagaimana?

"Besok saja diurusnya. Bagaimana?"

M a k s u d n y a ? ? ?

Aku jauh-jauh dari Jogja, bolos kerja (okay, ini bohong!), ke Magelang hanya untuk mengurus surat ini, dan sampai di sini aku diminta pulang lagi untuk kembali lagi ke Magelang besok? Hanya karena para manusia berseragam yang berkewajiban membantuku, sedang tilik pulang haji...?

Tolong, Bapak-Bapak Berseragam. Apakah tidak ada jalan keluar yang lebih logis dari itu?

"Lha terus bagaimana, Mbak?" balas Bapak Berseragam #2, bertanya dengan nada mempersulit dan tidak peduli.

Ampun! Apa mereka semua belum pernah mendengar teknologi telepon yang sudah berkembang pesat hingga nir kabel, yang bisa menghadirkan seseorang dalam sekejap bila memang benar-benar dibutuhkan?

T o l o n g . . .
D i t e l e p o n . . .

Tapi tak ada yang bergerak. Walau ide itu kulontarkan beberapa kali, mereka tetap diam. Mereka hanya berdiri, salah tingkah, sambil menatap aku yang mulai dikendalikan emosi.

Amplop! Ini baru jam 11 siang tapi kenapa aku tidak bisa mengurus keperluanku di sini? Tolong dibenarkan bila aku salah, tapi bukankah Dinas-Dinas dan manusia-manusia berseragam itu dibayar untuk melakukan pelayanan publik hingga jam dua siang di hari biasa?

Oke lah. Setelah jam makan siang, paling tidak. Kepalaku panas.

"Iya. Memang harusnya seperti itu... tapi..." Ibu Berseragam tidak melanjutkan perkataannya.

Lalu kami harus bagaimana? Ayo, kalian mau melempar kami ke mana lagi?

"Ke Kepala Bagian saja," ujar Bapak Berseragam #2 dengan nada kesal.

Lho... maaf, tapi bukankah seharusnya aku yang lebih kesal menghadapi mereka?

Akhirnya, kami segera menemui Kepala Bagian, yang ternyata hanya berada di sebalik lemari. Ibu Kepala Bagian rupanya mendengar seluruh perdebatanku dengan manusia-manusia berseragam di sebalik lemari. Mungkin karena itulah Ibu Kepala Bagian benar-benar ramah padaku, sampai aku tak mampu marah padanya. Dan Ibu Kepala Bagian benar-benar membantuku.

Satu jam kemudian, kami berhasil mendapatkan surat itu. Dan tanpa membayar sepeser pun. Huahaha! Ini prestasi, mengurus sesuatu di Dinas-Dinas itu tanpa mengeluarkan biaya.

"Lha inggih to, Mbak. Wong inggih sakjanipun saged kok mesti ndadak ngejak kerah rumiyin,*" ungkap Bapaknya Trimah.

Lha embuh, Pak. Pancen ngoten
.


*Lha iya to, Mbak. Yang seharusnya bisa saja kok pasti harus mengajak berantem dahulu.

2 comments:

Anonymous said...

ndie, kmu punya hasrat NAPUK ga kl pas gitu. Kalau aku, tangan kiri ku mesti dah megangi tangan kanan ku untuk menapuk mereka :D

bulb-mode said...

ogi:
Ora mung napuk, Gi... aku ampe bingung pengen ngapain coz terlalu banyak imajinasi liar akumulasi dari kebencian yang menumpuk... :p

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...