Deburan ombaknya kuat sekali, dan tinggi. Belum anginnya, mampu membuat pohon-pohon kelapa itu kewalahan menahan daun-daunnya. Dan awan hitam tebal menggantung di sejauh pandangan mataku. Laut yang hitam dengan ombak besar dan langit abu-abu tua. Ganas. Aku takut melihatnya.
Sepertinya sebentar lagi banjir datang, dan pinggir pantai akan tenggelam. Ibu di rumah pinggir pantai itu sudah mulai bingung. Kulihat ia mengeluarkan ember dan gayung untuk mengusir air laut yang mulai menyerang rumahnya. Membawa pasir hitam yang tampak kotor.
Aku tahu ini di Pulau Karimunjawa. Tapi kenapa pasirnya hitam? Dan kenapa ombaknya sebesar ini?
Sepertinya sebentar lagi banjir datang, dan pinggir pantai akan tenggelam. Ibu di rumah pinggir pantai itu sudah mulai bingung. Kulihat ia mengeluarkan ember dan gayung untuk mengusir air laut yang mulai menyerang rumahnya. Membawa pasir hitam yang tampak kotor.
Aku tahu ini di Pulau Karimunjawa. Tapi kenapa pasirnya hitam? Dan kenapa ombaknya sebesar ini?
Ibu yang tadi memandang aku dan teman-temanku dengan pandangan bertanya. Aku tahu apa yang ia maksud tanpa ia harus bicara. Pasti ia heran kenapa kami datang ke pulau ini saat ombak sedang tinggi-tingginya.
Aku juga heran. Kenapa aku kemari saat musim hujan?
Lalu ombak yang paling besar datang dan seakan ingin menenggelamkan pulau kecil itu. Aku segera menarik koporku menjauhi pantai. Begitu pula teman-temanku. Mereka lari tunggang-langgang, melupakan mobil jeep merah yang entah bagaimana aku tahu itu kendaraan kami.
Air laut membanjiri jalanan dengan cepat. Airnya setinggi lututku, membuat koporku terendam air. Tapi aku tak peduli.
Sebuah rumah tampak di ujung jalan. Aku tahu kami harus masuk ke sana. Mobil jeep pun tiba-tiba telah ada di dalam garasinya. Rumah ini bentuknya mirip rumah lamaku.
Kami segera masuk dan mengunci semua pintu. Dan jendela. Seakan-akan air laut itu bisa dihalau dengan mengunci itu semua.
Tapi memang bisa.
Kami aman di dalam rumah itu. Kudengar hujan mulai turun. Aku pun membuka koporku. Tak ada peralatan mandi. Tak ada handuk. Tak ada krim. Hanya ada pakaian. Kenapa isi koporku tidak lengkap? Tak mungkin aku berpergian hanya membawa pakaian.
Aku heran.
Dan kenapa teman-temanku menghilang? Ke mana mereka? Aku bingung. Deburan ombak di luar terdengar makin keras.
Lalu aku terbangun. Aih! Cuma mimpi.
Akhir-akhir ini aku merasa sering bermimpi tentang laut. Ah. Pasti bukan apa-apa. Mungkin ini karena buku 'Twenty Thousand Leagues Under the Sea' karya Jules Verne yang akhirnya mulai aku baca.
2 comments:
ohhh.. teman, memprihatinkan sekali mimpi2mu itu.. itulah bukti bahwa hidupmu semakin jauh dari petualangan yang menyenangkan.. tenang saja, hangatnya air laur raja ampat telah menunggu kita..
;)
dhiraestria dyah:
Amiiiin... yah... cuaca cerah sekali, dan bahkan Ponorogo pun tak jadi aku datangi... :p
Post a Comment