Pages

Sunday, January 6, 2008

Mau Off Road di Watulawang, Nggak?

Pertanyaan yang sedikit menjebak.

Dua mobil Nissan Terrano, kuning dan hitam, sudah siap di halaman hotel saat kami sampai. Tepat jam 9 pagi. Ya, hari itu aku dan temanku akan ikut acara off road bersama Crab Adventure... dan Trans TV.

Awalnya, aku kira kami diajak karena ada tempat kosong yang tersisa. Karenanya aku datang ke hotel itu dengan perasaan (khas Jawa) sedikit takut mengganggu jalannya acara.

Sepasang calon penumpang lain sudah duduk di lobby dan tampak akrab dengan Mbak Anna, reporter dari Trans TV yang sehari sebelumnya telah menelepon saya. Aku dan temanku pun ikut serta duduk di lobby, setelah berkenalan ke sana-sini.

"Jadi nanti ceritanya kalian semua sedang berwisata bersama Crab Adventure dan kami meliput kalian," ucap Mbak Anna menerangkan.

Oh...

Aku pikir kami hanya akan menjadi figuran tak penting. Dan frame-frame yang memuat kami pun hanya akan menjadi bagian yang dipotong dari keseluruhan liputan.

Aku tidak ingin masuk TV. Aku tidak ingin ditonton orang. Aku penderita demam panggung menahun.

"Biasa aja kali, Ndie. Nggak usah gagap media gitu," saran temanku.

Duh. Tak berperasaan.

Kepalang basah. Akhirnya aku terpaksa mengikuti rangkaian acara itu. Sambil terus berusaha menghindar dari sorotan kamera. Yah, aku tak mungkin menjilat ludahku sendiri dan dengan tiba-tiba membatalkan ikut acara itu, bukan?

Dari awal, Mas Kameraman yang aku lupa namanya sudah mulai sibuk mensyuting kami. Hampir setiap gerakan kami. Mulai dari membuka pintu, masuk mobil, menutup pintu, berbicara. Argh!

Tak mengapa, aku akan mencoba jurus baru. Jurus apatis, atau jurus autis. Iya, kuanggap saja kamera itu tidak ada dan aku akan sibuk dengan duniaku sendiri. Tapi tetap, ketika kamera mendekat, bagian-bagian tubuhku sulit berkoordinasi dan bergerak dengan normal. Jadi aku memilih untuk diam dan bermain HP saat kamera mendekat. Terutama saat di dalam mobil.


1. Off road di Wanagama


Dari Wanagama, kendaraan 4WD kuning yang kami tumpangi berbelok ke arah kanan, menyusuri Kali Opak. Ini pertama kalinya aku kemari. Jalan kecil beraspal kasar itu rupanya menuju suatu tempat yang dinamakan museum kayu (atau museum pohon?). Yah, mungkin karena banyaknya pohon yang sengaja ditumbuhkan di daerah ini.

"Ini daerah milik Fakultas Kehutanan UGM," ungkap Pak Wahyu, yang hari itu bertugas mengendalikan Terrano besar bewarna kuning itu.

Track
sejauh lima kilometer itu tingkatannya begginer. Tak terlalu sulit, katanya. Tanpa tebing curam yang beresiko memperosokkan kami, atau sungai lebar yang harus disebrangi, atau tanjakan terjal berpasir yang licin. Hanya sebuah kali kecil berair jernih sedalam betis yang menjadi tantangan terberat.

Selebihnya? Aku merasa seperti sedang bersafari dengan jalur yang pasti. Tetap menyenangkan, karena pemandangan di sekitarnya memang cukup indah.


2. Beli jangkrik di pinggir jalan


Harga jangkrik Rp 15.000,- untuk tujuh renteng. Tiap rentengnya ada tujuh jangkrik yang ditusuk hidup-hidup. Dan masih hidup. Ouch!

"Biasanya bisa bertahan hidup sampai satu hari," jelas Bapak Penjual Jangkrik.

Jangkrik-jangkrik yang dijual itu biasanya untuk dimakan. Bisa digoreng atau dijadikan peyek. Kata beberapa orang, jangkrik memang enak. Dan kami membelinya. Rencananya akan digoreng, untuk camilan sebelum makan malam.

Hm... mungkin nanti aku akan mencobanya. Asal sudah tidak berbentuk jangkrik lagi.


3. Makan siang di Watulawang
Resort

Tujuan utama kami adalah ke sebuah resort di tepi laut. Bukan di pantainya, resort ini terletak di tebing batu kapur yang telah dipoles sedemikian indahnya.

Aku pertama kali melihat resort ini pada awal tahun 2003 saat tak sengaja menemukan Pantai Watulawang di dekat Pantai Sundak. Dan yang terpikir olehku pada hari itu adalah kemungkinan perampasan Pantai Watulawang yang indah ini oleh suatu korporasi.

Tapi tentu saja itu tidak terjadi.

Watulawang Resort hanya menggunakan tebing-tebingnya dan sama sekali tidak menutup akses masyarakat umum yang ingin bersantai di Pantai Watulawang. Bahkan, aku sempat berkemah di daerah itu sekali. Sekaligus melakukan off-road liar, dengan cara menenggelamkan Vitara-ku ke dalam pasir yang bercampur air laut.

Sampai di resort ini, kami segera menuju ke restorannya, dimana telah disediakan berbagai masakan untuk makan siang. Tak hanya tampak lezat untuk mata yang lapar, tapi masakannya memang benar-benar enak.

Sayur tahu dan tempe pedas, sayur ketela dengan kuah kuning, ayam kremes, dan ikan goreng. Menu lokal yang dimasak dengan cukup sempurna.


4. Memancing bersama nelayan

Kapal yang dipakai bukanlah boat seperti yang kugunakan untuk berkeliling di Karimunjawa. Bukan pula perahu nelayan bermotor besar seperti yang pernah kulihat di Pantai Sadeng.

Perahu yang digunakan adalah perahu kecil yang lebarnya hanya cukup untuk dua orang yang berdiri dan panjangnya sekitar dua meter. Mungkin. Kanan dan kiri perahu dengan motor tempel ini diberi bambu panjang (aku tidak tahu apa namanya).

Fungsinya sebagai penyeimbang agar perahu mungil itu tidak terbalik saat digoyang ombak. Cukup mengerikan. Ombak besar menghadang kami beberapa kali, dan perahu seperti terhempas. Dan ini di pantai selatan, yang lautnya terkenal cukup ganas.

Selama perjalanan menuju titik memancing, aku tidak berani terlalu banyak berulah. Aku hanya berdiri bersandar bambu melintang, dan berpegangan erat pada bambu bendera.

"Dalamnya sepuluh meter dan dasarnya karang," kata Pak Nelayan sambil berteriak, mencoba mengalahkan suara debur ombak.

Tapi kami tidak jadi memancing, hanya berhenti terombang-ambing, merasakan ayunan ombak di tengah laut untuk beberapa saat. Cuaca yang tiba-tiba menjadi gelap membuatku sedikit khawatir. Sebentar lagi hujan deras akan turun. Bahkan, dari perahu, bisa kulihat awan gelap sudah menggantung di atas daratan. Oh-oh...

Kami pun segera memutar perahu sebelum cuaca bertambah buruk. Dan benar, hujan pun turun.


5. Bersantai di Watulawang Resort


Minuman hangat tersedia di restoran tempat kami makan siang. Aku pun menikmati hangatnya jahe sambil memandang laut lepas dan tetesan air hujan di kaca jendela. Menikmati mendung dan suasana sendu menjadi acara pengganti yang tak kalah menyenangkan.


6. Off road di mini off road Pantai Watulawang

Hujan reda dan kami segera meluncur ke lokasi selanjutnya. Mini off road yang terletak di Pantai Watulawang. Aku hanya menjadi penumpang, dengan sopir Pak Wahyu.

Jalanan yang curam, kubangan pasir dan air (TKP tenggelamnya Vitara), jalanan berbatu dan rumput yang licin, menginjak-injak dua Fiat serta mencoba kayu timbangan. Seru!

Aku tak berani mencoba mengendalikannya. Hari mulai malam dan sudah gelap, sementara beberapa peserta tampak ingin mencobanya. Lebih baik aku memotret saja.


7. Makan malam di Watulawang Resort

Menu malam hari tak kalah menarik. Ikan kakap putih panggang, ayam panggang, udang goreng lapis telur, sup iga, dan lobster bakar, hingga sayur plencing yang juga lezat. Untuk dessertnya, tersedia buah-buahan: nanas, mangga, melon, semangka, dan jeruk. Semuanya manis. Benar-benar manis, dan segar.

Sebelum acara selesai, kami dikenalkan pada chef masakan hari itu. Namanya Pak Panca, dan dulunya ia pernah bekerja di Sheraton.

Oh... begitu.

Tapi makanan yang dia masak memang benar-benar enak. Bahkan sebelum aku tahu dia pernah bekerja di Sheraton.

-o0o-

Hari pun diakhiri. Saat itu, aku sudah mulai lupa dengan kamera yang berkeliling. Sampai permintaan wawancara singkat tentang kesan-kesan keseluruhan acara tadi. Haduh.

Yah, intinya acara hari ini menyenangkan. Terima kasih atas kesempatannya. Akhirnya selesai juga perjalananku hari itu. Acaranya sendiri ditayangkan pada akhir bulan Desember kemarin. Liputan satu hari untuk tayangan selama enam menit.

Dalam perjalanan pulang, aku baru teringat sesuatu. Aih! Bagaimana nasib jangkrik-jangkrik yang kami beli itu? :-S

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...