Pages

Monday, January 28, 2008

Lima Alasan Pak Harto Susah Dibenci

Pak Harto telah meninggal, saatnya bergosip.

Sejarah sudah tertulis. Kejahatan strukturalnya sudah sering dibicarakan. Tapi suka atau tidak, Pak Harto memang susah dibenci.

Padahal dia telah memenjarakan Pak Karno tanpa pengadilan yang jelas. Dia telah menciptakan propaganda luar biasa atas nama PKI yang menghabisi lebih dari setengah juta nyawa rakyat yang dianggap terkait komunis. Trauma dari peristiwa PKI itu lah yang kemudian menjadi salah satu kekuatan Pak Harto.

Belum lagi kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah mengakar. Bahkan sistem hukum terendah pun lumpuh akibat korupsi akut yang sulit dilawan. Apa jadinya negara tanpa sistem hukum yang jelas?

Korupsi justru makin menjamur. Yah, guru kencing berdiri, murid pun kencing berlari.

Walau kejahatannya tumpuk-undung, tapi banyak yang menganggap modernitas dan kejayaan semu Indonesia adalah berkat jasa besar Pak Harto, selaku Bapak Pembangunan Bangsa. Keakraban dengan dunia barat perlahan-lahan membelokkan kiblat Indonesia pada modernitas barat.

Memang benar. Di jaman Orde Baru a la Pak Harto, kehidupan terasa lebih menyenangkan. Pekerjaan lebih mudah didapat, nilai tukar Rupiah lebih tinggi, hingga murahnya barang-barang.

Tapi apa ya memang begitu keadaannya? Apa ya memang Indonesia semakmur itu? Pak Harto, keluarga, dan kroni-kroninya memang makmur sih...

Hm... aku tidak ingin membahas tentang itu. Aku hanya ingin menuliskan hal-hal yang membuatku susah membenci Pak Harto.


1. Aku masih terlalu tidak peduli

Sewaktu Pak Harto berkuasa, aku masih duduk di bangku SMP. Brutal, egois, dan sangat tidak peduli dengan apapun di luar kepentinganku. Kebijakan-kebijakan OSIS saja tak pernah aku perhatikan, apalagi kebijakan kenegaraan. Aku hanya sering kesal saat wajah Harmoko seringkali muncul di layar TV setelah acara Dunia Dalam Berita.

Aku menerima sejarah dengan mode 'serap semua'. Tak kritis terhadap kecurigaanku sendiri dan percaya sepenuh hati pada doktrin buku-buku sejarah.

Tentu saja itu sekarang telah berubah. Semakin membuka diri, semakin aku mengerti banyak sejarah yang diputarbalikkan. Tapi, mau tidak mau, aura Pak Harto versi 'buku sejarah' terlanjur membekas dalam memoriku.

Mungkin juga karena aku tidak mengalami kekejaman Pak Harto secara langsung.


2. Pak Harto terlalu suka tersenyum

Pak Harto memang selalu tersenyum. Sampai-sampai dia mendapat julukan The Smilling General.

Bukan senyum tiga jari yang terkesan agresif. Senyum Pak Harto berbeda. Mungkin dia telah melatihnya di kaca pribadinya bertahun-tahun. Senyum Pak Harto, menurutku, adalah senyum rendah hati.

Mau tak mau, aku memang harus mengakuinya. Di luar kejahatan struktural yang telah dilakukannya, senyum Pak Harto justru menyesatkan. Senyumnya bukan senyum kebanggaan, atau senyum yang ceria, atau senyum sombong. Senyumnya menyiratkan 'diam adalah emas'. Bersikap rendah hati dengan hanya sekedar tersenyum.

Dan lagi, senyum Pak Harto tidak seperti dibuat-buat. Senyumnya seakan muncul dari dalam hati, seperti keinginan untuk mengalah. Apalagi saat-saat di akhir usianya. Aih. Siapa yang tega melihat kakek-kakek tersenyum pasrah dan kadang melambai?


3. Mimik muka dan gestur Pak Harto yang netral

Pak Harto memiliki kelebihan lain. Sikapnya dalam keseharian tidak se-offensive para diktator lainnya. Pak Harto cenderung diam. Dia hanya muncul bila harus membacakan pernyataan-pernyataan kenegaraan. Dan seingatku, dia juga membacakannya dengan netral. Seakan-akan dia adalah 'orang suruhan' yang merakyat. Pelayan rakyat. Dan bukannya diktator yang menjagal beribu-ribu nyawa.

Setahuku, Pak Harto tak pernah terlihat marah. Atau pun kesal. Atau panik. Atau semua yang pernah merekam perubahan mimik muka Pak Harto dipenjara ya?

Mimik mukanya selalu datar. Seperti orang yang tidak memiliki ambisi apapun. Tenang, bagaikan mengenakan topeng.

Oke, mimik muka pemerannya dalam film G30S/PKI memang tampak lebih ambisius.

"Saya tidak ingin ada dua kepala. Kalau entah siapa berpangkat apa itu masih memimpin, lebih baik saya tidak usah ikut memimpin." Cieh... mutung, Pak Harto? ;p

Kira-kira seperti itulah salah satu dialog ambisius yang aku tangkap dalam film G30S/PKI.


4. Pak Harto tidak gila popularitas

Mungkin dia gila harta. Atau gila kekuasaan. Atau keluarganya yang gila popularitas. Tapi yang jelas, bukan Pak Harto. Dia selalu tampak menjaga jarak.

Dan memang kemudian tercipta jarak.

Selama 32 tahun memerintah, dia jarang tampak dalam wawancara-wawancara. Dia tidak mempunyai patungnya sendiri. Dia tidak memiliki jalan yang dinamakan atas namanya.

Bahkan, untuk melengkapi tulisan ini, aku sulit menemukan image Pak Harto yang 'berpose' di internet.


5. Pak Harto tahu kapan harus berhenti dan diam

Dia tidak mengakui kesalahannya. Dia tidak membela diri. Dia tidak menyerang balik. Dia menolak wawancara. Di akhir kepemimpinannya hingga saat dia meninggal, Pak Harto memilih diam.

Walaupun mengesalkan banyak pihak. Ini sepertinya trik yang tepat untuk menghilang.

Bukannya mengerahkan pasukan tentara untuk mengamankan kekuasaannya, pada pertengahan Mei 1998, Pak Harto memilih untuk mengundurkan diri. Dia seperti menyerah dan menerima kekalahannya.


Lalu, ada pertanyaan, apakah aku memaafkan Pak Harto? Pertanyaan yang salah. Seharusnya pertanyaan itu ditujukan pada mereka yang telah terkena imbas kekejaman Pak Harto, dan bukannya pada aku. Atau pada mereka yang telah diuntungkan selama pemerintahan Pak Harto.

Tapi, aku sendiri tak mengerti harus mulai memaafkan Pak Harto dari mana. Dia pun belum pernah mengakui kesalahannya dan meminta maaf, kan?

3 comments:

Anonymous said...

ada satu yang kurang di pak harto.
Dia kurang tau kapan harus mati :D
heheheh

coba kl beliau meninggal pas jaman keemasannya, pasti deh pemakamannya akan menjadi yang terhebat di negri ini.

Anonymous said...

Pak Harto, aku pernah nyanyi di depannya wkt jadi anggota paduan suara siswa tahun 1996...dia cukup tersenyum dan melambaikan tangan, wuahh bangganya waktu itu.
Sejarah diukir oleh pemenang, jadi Pak Harto memang harus dilihat secara utuh sebagai manusia, terlebih sebagai pemimpin. Pak Karno diktator, karena dia presiden seumur hidup dan minta dipanggil Paduka Yang Mulia, tapi beliau juga Pahlawan Proklamasi. Pak Harto juga begitu, diktator, tapi beliau dalam konteks masa itu sebenarnya sudah berusaha membangun ekonomi kita, dengan memakai kaum teknokrat didikan luar negeri, namun "semu" karna ulah Mafia Barkeley yang sok pintar membangun pondasi ekonomi dengan Kapitalisme tulen yang dibungkus kepalsuan Pancasila tanpa melihat akar kehidupan bangsa ini yang sebagian besar isinya dari berladang dan nyawah.Biar bagaimanapun, pak Harto juga sukses meciptakan stabilitas di negeri ini, meski tangan besi. Jadi...untuk Pak Harto, Anda sudah selesai pak.Yang belum selesai, masalah-masalah yang kami buat sendiri saat ini,karena kami tidak pernah belajar dari masa lalu.

bulb-mode said...

ogi:
Meninggalnya bareng Bu Tien, kan malah heboh... :D

ajudan pak harto:
Ya... Selamat jalan, Pak Harto...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...