Pages

Monday, August 13, 2007

Menggantung Senja

Apakah kamu menyukainya, berjalan-jalan di antara padi yang hijau sore hari tadi? Aku menyukainya. Perjalanan satu jam kita tempuh di antara sedikitnya waktumu. Semoga pilihanku tadi tak membuatmu kecewa. Kamu tahu, ternyata agak sulit mencari tempat yang indah, yang bisa ditempuh dalam waktu yang amat terbatas.

Di awali dengan melintasi perkotaan dan pedesaan. Lalu memasuki lorong, jalanan sempit di desa. Dan di akhiri dengan indahnya lembah yang menghijau. Di ujung pandanganku, di ujung lembah, puncak-puncak bukit tampak bermunculan, menyimpan misterinya sendiri.

"Seperti memasuki dunia lain," ucapmu. Entah gembira, entah takjub. Atau campuran keduanya.


Pandanganmu menerawang di antara hijaunya lembah yang terhampar tepat di depan kita. Sedikit sureal? Aku ingin tahu, apakah jalanan yang sepi, deretan bukit di ujung jalan, dan hijaunya lembah itu memukaumu?

Aku selalu merasa jantungku berdetak lebih cepat saat memasuki lorong itu. Dengan nafas yang sedikit tertahan ketika muncul di ujung lorong. 'Dunia lain' di ujungnya memang selalu berhasil memukauku. Selalu.

"Sayang langitnya putih sekali," ucapmu sedikit kecewa sambil mengintip dari balik viewfinder.

Aku tahu matahari masih bersinar dengan teriknya. Tentu saja, masih pukul 4 sore. Tapi ini justru bisa memberi kita kesempatan bermain dengan filter PL, bukan?

Kulihat kamu tak berubah. Masih ceria. Masih penuh semangat dan optimis. Masih dengan jurang yang lebar. Masih seperti yang kuingat. Kecuali mungkin rambut yang menjadi lebih pendek. Dan kulit yang semakin putih. Terutama bila disandingkan dengan kulit lenganku yang sedang hitam-hitamnya.

Matahari sudah semakin condong ke barat saat kita sampai di pinggir sawah. Aku menawarimu untuk berhenti. Bermain di sawah sebentar sepertinya menyenangkan. Dan kamu tampak antusias. Hm... aku suka caramu membuat ide sederhana ini tampak menarik.

Kuajak kamu menyusuri jalan setapak di tengah sawah. Daun semanggi, capung, padi, tumbuhan yang tak bisa kamu bedakan apakah itu tomat atau mentimun, hingga lumpur yang membuatku sedikit terperosok. Belum lagi air jernih yang mengalir di sampingmu, yang kugunakan untuk mencuci kakiku. Semua begitu terasa, bukan?

Menyapa penggembala bebek, petani, hingga satu keluarga yang baru pulang dari tengah sawah. Semua terasa damai. Kecuali saat bebek-bebek itu menatapku dengan tingkah agresif. Atau itu hanya perasaanku? Aku heran kenapa kamu tidak khawatir melihat bebek-bebek itu, dan justru memintaku untuk tenang.

Gunung Merapi yang biasanya tampak di ujung horison hijau, kali ini tak tampak. Mendung, mungkin. Atau mereka malu padamu? Ah, yang jelas, aku senang berada di sana. Berjalan entah di depan, di samping, atau di belakangmu.

Namun aku tak berani membingkaimu. Membingkaimu untuk aku. Aku takut, ketika mimpi ini berakhir, aku tak mampu menghapusnya. Dan itu hanya akan semakin menggangguku, bukan?

"Aku aja yang nyupir ya?" tanyamu saat hari kita hampir berakhir.

Aku tertawa. Aku tahu kamu menawarkannya karena waktumu yang semakin sedikit, dikombinasi dengan gaya menyupirku yang lambat. Maaf... maaf... aku sekarang jadi terbiasa tak ingin melewatkan momen dan detail yang ada.

Matahari yang merah dan besar sedang tenggelam ketika kita sampai di ujung hari. Ketika kamu keluar dari mobil, menutup pintu, dan berjalan menjauh. Sebenarnya, ingin aku hentikan momen itu. Sejenak. Membiarkan senja tergantung beberapa saat. Tapi, apa yang bisa aku lakukan?

Ah, semoga saja kita masih bisa bertemu lagi. Dan kali itu, tidak di mimpi.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...