Setelah semalaman hujan deras mengguyur Pulau Karimunjawa - yang membuatku sedikit khawatir pulau kecil tersebut akan tenggelam - paginya, kami harus tetap menikmati hujan. Hujan deras disertai udara yang sejuk dari aku bangun pagi hingga menjelang makan siang. Suasana seperti itu justru membuat kami memilih untuk tinggal di rumah dan menikmati sarapan pagi buatan Mbak Eri, istri Mas Nurul.
Ikan tongkol dengan bumbu kacang, dibungkus daun sentolo. Aku belum pernah merasakannya. Tongkol Bungkus itu mirip dimasak dengan cara mirip pepes, namun rasanya unik. Ketika aku tanya apakah itu masakan khas Karimunjawa, Mbak Eri menggeleng.
"Nggak juga. Tapi daunnya memang setahu saya cuma ada di Karimunjawa," jawabnya.
Ikan tongkol dengan bumbu kacang, dibungkus daun sentolo. Aku belum pernah merasakannya. Tongkol Bungkus itu mirip dimasak dengan cara mirip pepes, namun rasanya unik. Ketika aku tanya apakah itu masakan khas Karimunjawa, Mbak Eri menggeleng.
"Nggak juga. Tapi daunnya memang setahu saya cuma ada di Karimunjawa," jawabnya.
Aku yang kurang pengetahuan di bidang botani pun percaya-percaya saja.
Pagi itu kami memang dimanja oleh lezatnya makanan-makanan Karimunjawa. Tahu sumpal yang dibeli di tetangga sebelah rumah terhidang setelah sarapan. Tahu ini mirip dengan tahu susur, namun isinya bukan sayuran. Daging ikan yang telah dilumat menjadi pengganti sayuran. Lezat!
Menjelang siang, cuaca beranjak cerah. Agenda hari kedua pun bisa dilakukan. Fin swimming dari dermaga ke keramba, diving dan snorkling di sekitar keramba, dan mengunjungi rumah apung milik Pak Joko. Katanya, ia memelihara banyak ikan hiu.
Karang di sekitar Karimunjawa memang telah mulai rusak, namun masih banyak ikan dan biota laut yang bisa kami lihat.
"Hati-hati bulu babi," ucap Zen memperingatkan aku dan Dhira di tengah-tengah pesta snorkling kami.
Tertusuk bulu babi memang tidak lantas mematikan, namun bisa menyebabkan demam hingga dua hari. Hm...aku tak ingin merusak liburanku dengan demam.
Dhira yang memang sedang dalam program sertifikasi, lebih banyak berkutat dengan Mbak Ika. Sedangkan aku yang memang dari awal berencana untuk belajar sambil bersenang-senang, tentu saja memuaskan diriku dengan bermain-main di sekeliling mereka. Snorkling dan menyamankan diriku dengan air laut.
Di hari pertama masuk ke laut ini aku memang belum terlalu nyaman dengan laut dan air asinnya. Aku juga salah memilih masker dan snorkle, yang akhirnya menyebabkan aku jadi kerap tersedak air laut. Asin!
Dari keramba menuju rumah apung Pak Joko, kami menggunakan kapal motor Mas Nurul. Kapal motor kecil bewarna biru itu menjadi kendaraan utama kami selama 4 hari utama.
Di rumah apung, kami tidak bermain air lagi. Cukup untuk hari ini, karena hari juga telah mulai sore dan udara semakin dingin. Di sini kami bersilaturahmi dengan rombongan arkeologi dari seluruh Indonesia yang juga sedang berlatih selam. Namun dengan tujuan yang lebih jelas dari pada aku.
Benar ternyata. Pak Joko memang memelihara ikan hiu. Sekitar 8 ikan hiu kecil berenang-renang di kolam buatan di dalam rumah apung Pak Joko. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan ia lakukan bila mereka telah dewasa.
"Dilepas?" tanyaku sambil mengharapkan jawaban 'ya' untuk melengkapi fantasiku.
"Nggak. Tetap dipelihara aja."
Di sisi lain rumah apung, tampak seorang nelayan sedang memancing cumi-cumi (atau sotong?). Hasil tangkapannya ditaruh di keranjang yang masih terendam air laut. Cumi-cumi tangkapan tadi saling menyemprotkan tinta. Dan di antara hitamnya air yang tercampur tinta tadi, cumi-cumi yang semi transparan ternyata mengeluarkan cahaya dari ujung-ujung badannya. Cahaya berupa bintik-bintik yang menyala bergantian, dan bewarna terang. Ini mengingatkanku pada UFO di film-film sci-fi versi Hollywood.
Hari semakin sore, sinar matahari pun semakin redup. Hari itu pun kami akhiri dengan menikmati santap malam di warung Bu Ester, beberapa puluh meter dari Syahbandar. Lauknya? Sotong goreng.
No comments:
Post a Comment