Langit Pantai Parangkusumo selama tiga hari kemarin dipenuhi oleh layang-layang. Festival Layang-Layang yang diadakan setahun sekali ini memang berhasil menarik para pecinta layang-layang. Mereka berkumpul, bersaing, bertanding, dan bermain.
Ini kali kedua aku datang ke Festival Layang-Layang. Sebelumnya, sekitar dua tahun yang lalu. Meriah, dan panas, sama seperti sekarang. Tapi kali ini, layang-layangnya lebih banyak.
Aku dan ketiga temanku datang di hari kedua perayaan layang-layang. Di hari Sabtu yang ramai dan panas. Bukan karena suatu hal yang penting. Tapi karena di hari sebelumnya aku terlanjur berjanji pada diriku sendiri untuk membersihkan kamar.
Sebanyak 20 pendaftar bertanding siang itu. Layangan mereka berbeda dengan layangan yang biasa aku lihat di kampung. Layangan yang mereka terbangkan besar, indah, dan unik. Mengendalikannya pun tak mudah. Bahkan kadang layang-layang itu justru berhasil menyeret para pemainnya. Benar-benar olah raga layang-layang.
Angin siang itu memang kuat. Layang-layang pun satu per satu berhasil diterbangkan. Ada yang berbentuk Hanoman, Spiderman, Tokek Hijau, Werkudara, Burung Walet, Gareng, hingga penari Bali yang tampak hidup saat dimainkan angin.
Melihatnya, aku jadi ingin bermain layang-layang. Tapi minder bila harus bermain saat itu juga.
"Sepertinya aku bakal punya hobby baru," ucap temanku tiba-tiba (nama disembunyikan demi alasan sopan santun). "Bermain layang-layang."
Oh, Dewata. Aku cuma bisa menatapnya sambil terpana. Dia bahkan belum memegang layang-layang yang ada. Satupun. Dan setelah meyakinkannya untuk memikirkannya ulang, aku segera mengembalikan konsentrasi aku ke hal-hal yang lebih rasional versi aku.
Kali ini, yang bertanding berasal dari seluruh Indonesia. Di pinggir lapangan artifisial, berjejer para komunitas layangan yang tengah mempersiapkan layangannya.
Pertandiangan berlangsung hingga sore hari. Layangan yang diterbangkan telah dinilai para juri. Matahari pun mulai tergelincir ke arah barat, dan layang-layang yang berterbangan mulai diturunkan.
"Aku nggak jadi punya hobby baru," ucap temanku yang tadi. "Mungkin aku lebih suka melihat aja ya?"
Baguslah. Untung kami belum mencari satu kenalan di antara ratusan pelayang-layang, atau bergabung dengan salah satu komunitas yang ada.
Ini kali kedua aku datang ke Festival Layang-Layang. Sebelumnya, sekitar dua tahun yang lalu. Meriah, dan panas, sama seperti sekarang. Tapi kali ini, layang-layangnya lebih banyak.
Aku dan ketiga temanku datang di hari kedua perayaan layang-layang. Di hari Sabtu yang ramai dan panas. Bukan karena suatu hal yang penting. Tapi karena di hari sebelumnya aku terlanjur berjanji pada diriku sendiri untuk membersihkan kamar.
Sebanyak 20 pendaftar bertanding siang itu. Layangan mereka berbeda dengan layangan yang biasa aku lihat di kampung. Layangan yang mereka terbangkan besar, indah, dan unik. Mengendalikannya pun tak mudah. Bahkan kadang layang-layang itu justru berhasil menyeret para pemainnya. Benar-benar olah raga layang-layang.
Angin siang itu memang kuat. Layang-layang pun satu per satu berhasil diterbangkan. Ada yang berbentuk Hanoman, Spiderman, Tokek Hijau, Werkudara, Burung Walet, Gareng, hingga penari Bali yang tampak hidup saat dimainkan angin.
Melihatnya, aku jadi ingin bermain layang-layang. Tapi minder bila harus bermain saat itu juga.
"Sepertinya aku bakal punya hobby baru," ucap temanku tiba-tiba (nama disembunyikan demi alasan sopan santun). "Bermain layang-layang."
Oh, Dewata. Aku cuma bisa menatapnya sambil terpana. Dia bahkan belum memegang layang-layang yang ada. Satupun. Dan setelah meyakinkannya untuk memikirkannya ulang, aku segera mengembalikan konsentrasi aku ke hal-hal yang lebih rasional versi aku.
Kali ini, yang bertanding berasal dari seluruh Indonesia. Di pinggir lapangan artifisial, berjejer para komunitas layangan yang tengah mempersiapkan layangannya.
Pertandiangan berlangsung hingga sore hari. Layangan yang diterbangkan telah dinilai para juri. Matahari pun mulai tergelincir ke arah barat, dan layang-layang yang berterbangan mulai diturunkan.
"Aku nggak jadi punya hobby baru," ucap temanku yang tadi. "Mungkin aku lebih suka melihat aja ya?"
Baguslah. Untung kami belum mencari satu kenalan di antara ratusan pelayang-layang, atau bergabung dengan salah satu komunitas yang ada.
3 comments:
Layangan sapi itu bisa terbang?? Lucu juga ya....^_^ Mungkin si pembuat layang2 juga suka lagu "Dona-dona" sehingga mewujudkan mimpi si anak sapi untuk bisa terbang bebas just like a swallow...
Itu layangan sapi Benggala yang menarik pedati Maneka. Mestinya layangannya bisa terbang, tapi aku nggak ngeliat waktu sapi itu melayang.
Sore ini hujan jatuh...Layang2 tidak mungkin terbang kala hujan khan?
Post a Comment